Musim angin kencang dimulai. Anak laki-laki sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. Mereka selalu tahu permainan apa yang paling cocok untuk sebuah musim.
Dan kini musim layang-layang.
Hampir setiap siang terlihat banyak layang-layang membumbung tinggi. Langit baru sepi bila hari menjelang senja.
“Aha … ha … ha …, punyamu kalah, Gun!”
“Aduuuh … putus lagi.”
Teriakan ini selalu terdengar. Dengan bangga anak-anak yang menang menantang layang-layang yang lain. Adak kode khusus bagi layang-layang yang akan diadu.
Layang-layang yang menantang mengejar layang-layang yang diincar. Apabila layang-layang yang diincar setuju, mereka akan adu kekuatan. Sebenarnya yang beradu bukan layang-layangnya, melainkan kekauatan benang. Layang-layang yang benangnya putus dianggap kalah.
Kalau layang-layang yang diincar tidak mau diajak bertanding, dia akan menghindari penantang. Tetapi biasanya anak-anak malu menghindar.
Siang ini Kinta jengkel sekali. Layang-layangnya putus. Layang-layang Nurdi di lapangan seberang memang hebat. Akibatnya, layang-layang Kinta yang berekor panjang jadi putus. Kinta kesal karena layang-layang itu miliknya yang terakhir. Kinta duduk mencangkung di pinggir lapangan. Dia memandang layang-layang di langit, hampir semuanya indah.
“Sebenarnya ada sedikit tabungan untuk membeli layang-layang. Tetapi kalau aku mengambil tabungan lagi, lama-lama habis. Padahal musim layang-layang baru dimulai dua hari,” gerutu Kinta pada Badri yang duduk di sebelahnya.
Badri diam. Seperi Kinta, layang-layang Badri juga baru saja putus. “Ta, kalau kita membuat layang-layang sendiri bagaimana?” tanya Badri setelah lama terdiam.
Kinta menggeser duduknya. “Sejak kemarin aku sudah punya pikiran seperti itu. Tetapi membuat layang-layang tidak semudah yang kita bayangkan. Harus seimbang, tidak boleh terlalu berat, dan harus bisa membumbung …”
“Susah juga. Tetapi dari mana kita mendapat layang-layang? Merebut layang-layang, aku tidak berani,” ujar Badri.
Kinta merebahkan badannya. Langit luas yang cerah terhampar dimatanya. Belasan layang-layang melenggok-lenggok indah. “Yah … harusnya kita membuat layang-layang sendiri,” gumam Kinta.
Δ Δ Δ Δ Δ
“Ya. Itu sudah cukup, Dri. Kita coba, yuk!” Kinta berdiri sambil memegang layang-layangnya. Badri mengikuti.
Layang-layang berekor panjang itu di lukis dengan cantik.
Tetapi ketika layang-layang itu dinaikkan, Kinta dan Badri jengkel. “Tidak bisa naik. Terlalu berat,” kata Kinta.
Teman-temannya mendekat.
“Bagus sekali layang-layangmu. Beli dimana?” tanya salah seorang teman Kinta.
Kinta meringis. “Membuat sendiri. Tetapi tidak bisa terbang.”
Teman-temannya mengagumi layang-layang Kinta. “Cantik sekali gambarnya.
Badri langsung menyahut, “Kalau layang-layang ini bisa terbang, kamu mau beli? Harganya tentu lebih tinggi karena layang-layangnya cantik. Lima ratus rupiah lebih mahal.”
Kinta terkejut mendengar ucapan Badri.
“Ya, aku mau!” teriak teman-temannya.
Badri segera menggamit Kinta setelah mendapat beberapa pesanan layang-layang cantik.
Tanpa bicara Badri membeli layang-layang sejumlah pesanan dengan tabungannya di warung Pak Jali. Layang-layang Pak Jali terkenal bagus. Selalu bisa membumbung. Badri meminta Kinta melukis layang-layang itu dengan cat air. Ditambah dengan ekor dari kertas tipis melayang, jadilah layang-layang cantik.
Dari lima ratus rupiah kali jumlah pesanan, Kinta dan Badri mengutip cukup banyak. Justru sekarang Kinta dan Badri jarang adu layang-layang. Mereka merasa lebih asyik melukis layang-layang. Cantik dan sudah pasti bisa terbang. @@@