Sesuai namanya, Abu Licik memang benar-benar licik. Dalam pikirannya selalu ada akal jahat, untuk memperdaya orang lain. Parahnya, kebanyakan yang diakali adalah orang-orang yang miskin dan tidak berdaya.
Beberapa waktu lalu, Abu Licik datang ke warung Pak Burhan. Dia membawa seorang anak kecil, yang diakui sebagai cucunya. Setelah makan minum berdua dengan ‘cucunya’ dengan menu yang enak-enak, Abu Licik tiba-tiba berkelit.
“Maaf, dompetku ketinggalan,” kata Abu Licik kepada Pak Burhan. “Aku ambil uang dulu, ya?”
“Bagaimana aku bisa percaya?” jawab Pak Burhan keberatan. “Kalau kau tidak kembali aku bisa rugi.”
“Aku tinggalkan cucuku disini,” yakin Abu Licik. “Masak aku tega tidak kembali.”
Mendapat jaminan cucu Abu Licik, Pak Burhan percaya. Dia ijinkan Abu Licik meninggalkan warungnya. Namun, satu dua jam ditunggu, ternyata Abu Licik tidak kembali juga. Pak Burhan mulai curiga. Dia mulai bertanya kepada anak kecil yang ditinggal Abu Licik di warungnya.
“Di mana rumah kakekmu? Apa jauh dari sini?” tanya Pak Burhan.
“Mana kutahu?” jawab anak kecil itu lugu. “Aku tidak mengenalnya sama sekali.”
Pak Burhan kaget. “Mengapa kau bisa ke sini dengan dia?”
“Aku tadi bermain-main di sekitar warung anda,” tutur anak kecil itu. “Tiba-tiba kakek itu datang dan mengajakku ke sini. Katanya aku akan diajak makan tanpa bayar. Tentu saja aku mau, sebab sedari tadi aku lapar ….”
Mendengar penuturan anak kecil tadi, Pak Burhan serasa digodam kepalanya. Dia merasa ditipu mentah-mentah. oleh Abu Licik. Dengan perasaan gundah, dia menuruh anak kecil itu pergi.
“Sudah pergi sana!” usi Pak Burhan pada anak kecil itu. “Lain kali, jangan mau kalau diajak orang yang tak dikenal, mengerti!”
Tanpa menghiraukan perkataan Pak Burhan, anak kecil itu pun beringsut pergi.
Berita perbuatan Abu Licik menipu Pak Burhan, akhirnya menyebar kemana-mana. Ternyata bukan hanya Pak Burhan saja, yang ditipu dengan cara seperti itu. Banyak kedai-kedai makanan lain, yang pernah mengalami nasib sama. Para pemilik warung yang belum pernah ditipu Abu Licik, akhirnya waspada. Mereka tidak mau mengalami nasib yang sama, seperti warung-warung yang lainnya. Mereka berancang-ancang akan mengusir Abu Licik, kalau hendak makan di warungnya. Tapi cara ini tidak disetujui Abunawas,
“Kalau kalian berbuat seperti itu,” kata Abunawas. “Dia tidak akan mendapat pelajaran. Dia hanya mungkin tidak bisa menipu lagi. Tapi kalau kalian punya cara yang lebih cerdas, dia akan kapok seumur hidupnya.”
“Bagaimana caranya?” tanya para pemilik warung.
“Pasang saja tulisan besar-besar di warung kalian: ‘Makan Gratis, Cucu Anda Yang Membayar Kelak!’
“Wah, jelas tambah senang dia!” protes para pemilik warung. “Dia akan datang bergantian ke warung kami.”
“Justru itu yang diharapkan. Itulah kesempatan untuk menjebak dia. Dia akan datang sendirian, tanpa mengajak anak kecil lagi,” jelas Abunawas.
Serambi berkata begitu, Abunawas membeberkan rencananya pada pemilik warung. Mendapat penjelasan seperti itu, mereka manggut-manggut tanda mengerti.
Benar juga! Membaca tulisan besar-besar di beberapa warung, Abu Licik tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia mampir ke salah satu warung dan memesan makanan yang enak. Dia makan dengan lahapnya, seperti tidak pernah makan berhari-hari. Setelah kenyang, Abu Licik bermaksud meninggalkan warung. Tetapi pemilik warung segera menghadangnya.
“Aku harus membayar sebanyak itu? Bukankah di depan warung ada tulisan besar-besar: ‘Makan Gratis, Cucu Anda Yang Membayar Kelak. Mengapa anda sekarang menyodorkan tagihan kepadaku? Biar saja nanti cucu saya yang akan membayar kelak!” elak Abu Licik.
“Memang tagihan makan anda, cucu anda yang membayar kelak, tapi … ini tagihan kakek anda dahulu, yang anda kini harus membayarnya!”
Mendengar penjelasan pemilik warung, Abu Licik kaget bukan kepalang. Dia tidak menyangka, mendapat jebakan seperti itu. Belum sempat dia berkelit, pemilik warung sudah kembali mengancamnya.
“Bagaimana? Tuan mau membayar atau tidak?! Kalau tidak mau membayar, saya akan laporkan masalah ini ke Baginda Harun Alrasyid.”
Mendapat ancaman seperti itu, Abu Licik ketakutan. Dia segera membayar tagihan yang disodorkan pemilik warung sebesar 120 dinar. Karena kalau tidak, dia bisa dipenjara kalau masalah ini sampai terdengar oleh Baginda Harun Alrasyid. Pemilik warung pasti akan menceritakan semua kejadian, dari awal sampai akhir. Padahal sesungguhnya, biaya makan yang seharusnya di bayar Abu Licik hanya 20 dinar. Sekarang rasakan akibatnya. @@@
Mentari, Edisi 359 Tahun 2007
abunawas sang legenda😂
LikeLike
Setuju
Baca cerita Abunawas tidak ada bosen-bosennya
LikeLike
aku juga. Tapi malah lebih ke pembuat ceritanya. Dia jenius kali ya
LikeLike
Banyak banget cerita abunawas, si pembuat cerita ga mati ide untuk buat ceritanya, salut…
LikeLike
dia pasti suka nongkrong di pasar deh kayaknya😂😂. jadi adaaaaaaaa aja trik nya
LikeLiked by 1 person
Aih, makan utang terus tapi belum lunasi utang yang dulu, seperti keadaan negara aja. Jenius sekali cerita Abunawas ini. Berlaku dari zaman ke zaman.
LikeLike
Berarti cerita Abunawas menyindir suatu instansi atau seseorang secara halus…
LikeLike
Mungkin sekali. Jadi ingin baca kisah Abunawas lainnya. Menarik
LikeLike
Pembalasan Abunawas lebih halus dan kreatif tapi “menohok” tanpa harus menggunakan cara kekerasaan
LikeLike